“Bertemu? Sepertinya belum, Tuan. Saya tinggal di kampung,” jawab Rahes.
Tentu saja pernah bertemu. Bahkan dulu Sanjaya sering menyapanya ketika kebetulan berpapasan dengannya di kantor sang papa. Nyatanya, di balik senyumnya yang ramah, pria itu berhati iblis.
“Oh, begitu. Ya, sudah kalau begitu. Selamat beristirahat.”
“Terima kasih, Tuan,” sahut Rahes.
Pria itu mengantar Sanjaya sampai ke pintu, lantas menutupnya setelah Sanjaya benar-benar berlalu. Rahes mencoba mengatur napasnya demi melindapkan amarah dalam dadanya. Ia baru saja bicara dengan pria yang telah mencelakai kedua orang tuanya. Mana bisa ia setenang itu. Keramahan Sanjaya memang hanya kedok. Ia sama liciknya dengan Melisa yang telah dengan gil a menjebaknya. Rahes tidak akan mengampuninya setelah ini.
Sementara itu, Melisa masih memikirkan cara agar bisa menikmati kehan gatan sang sopir. Tentu saja, ia tak bisa lagi menjebak Rahes dengan obat perangs ang karena pasti pria itu sudah berhati-hati. Jadi, apa yang harus ia lakukan?
“Sialan. Aku enggak bisa begini terus,” katanya.
Melisa lantas pergi ke ka mar mandi. Di sana, ia memilih menuntaskan semuanya seorang diri sebelum besok bersiap dengan rencana lain. Wanita itu benar-benar berambisi untuk mendapatkan Rahes sekali lagi karena sudah benar-benar haus akan be laian seorang pria. Nyatanya, setiap membayangkan setiap inci tub uh pria itu, Melisa langsung kepa yang.
Esok paginya, Anna telah benar-benar merasa segar setelah tid ur dengan nyenyak semalaman. Gadis itu mengulat usai membuka mata dan tersenyum kecil. Rasanya ada yang begitu ringan di hati dan pikirannya usai sema lam berbagi banyak hal dengan sang sopir.
Anna lantas bangkit dari ranj ang. Ia membuka pintu balkon dan mencoba merasakan kesejukan udara pagi ini. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan pelan. Ketika asyik dengan suasananya, tiba-tiba perhatian Anna beralih pada sosok sang sopir yang juga sedang berolahraga di depan kamarnya. Dari balkon ka mar Anna, terlihat begitu jelas bagaimana Rahes bergerak ringan, tapi tampak begitu mempesona. Anna lantas menutup wajahnya dengan kedua telempap.
“Apa-apaan, sih, aku? Anna sadar,” bisiknya pada diri sendiri.
Namun demikian, gadis itu malah merasa jengah karena dengan sengaja menikmati pemandangan tub uh sang sopir yang kekar. Ini bukan kali pertama Anna melihat yang seperti itu, tapi rasanya ia tak bisa menahan diri. Rahes memang sangat mempesona. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga sikapnya yang dewasa.
Tak lama kemudian, pria itu menyadari kehadiran Anna. Ia mendongak dan melempar senyum dan hormat pada gadis itu. Anak majikannya yang saat ini menatapnya dengan tersenyum. Sungguh sangat manis. Walaupun baru saja terbangun dan Rahes yakin Anna belum ke kamar mandi. Nyatanya, pesonanya tak pudar sedikitpun.
Sementara itu, Melisa yang sejak semal am uring-uringan sudah merencanakan sesuatu untuk Rahes sore ini. Ia akan mem aksa pria itu untuk meminum obat perangs ang miliknya dan mengg ila bersamanya.
Pagi itu, Anna memutuskan untuk sarapan di meja makan. Seperti yang sudah Rahes katakan kemarin, setidaknya ia harus mendengar alasan sang papa bersikap demikian. Jika bukan karena naf su, mungkin saja ada alasan lain mengapa Sanjaya melakukan itu.
Ketika melihat anak gadisnya ada di meja makan, Sanjaya tersenyum kecil. Buru-buru ia menghampiri gadis itu dan menyapanya.
“Sayang.”
“Pagi, Pa,” sahut Anna.
Melihat senyum Anna yang merekah, Sanjaya yakin suasana hatinya sedang baik. Kemarin gadis itu pasti butuh waktu untuk memahami semuanya. Ia yakin Anna bisa mengerti karena dia adalah anak yang cerdas. Jadi, Sanjaya akan meluangkan waktunya pagi ini untuk bersama dengan sang putri.
“Kamu … ada kuliah pagi ini?” tanya Sanjaya ragu.
“Enggak ada, Pa. Cuma nanti sore harus ke kampus untuk registrasi ulang,” kata Anna.
“Oke, gimana kalau pagi ini kita jalan-jalan. Ke taman mungkin. Papa sudah lama tidak melakukan itu,” kata Sanjaya.
“Boleh, Pa.”
Anna sengaja memberikan waktu untuk sang papa menjelaskan. Mungkin saja alasannya akan membuat Anna kembali kec ewa, tapi setidaknya ia harus tahu semuanya sebelum menentukan sikap.
“Kasih tahu Rahes untuk bersiap. Biar dia aja yang nyopir,” jelas Sanjaya.
Anna bergegas menemui sang sopir ketika Melisa turun ke meja makan. Ia mendengar ucapan suaminya dan langsung melempar protes.
“Rahes itu sopirku, dia harusnya ngantar aku ke mana-mana. Kenapa kamu seenaknya menyuruhnya?” katanya.
“Aku akan carikan sopir lain untukmu. Rahes akan jadi sopirnya Anna setelah ini,” ucap Sanjaya.
“Enggak. Anna aja yang cari sopir lain.”
Sanjaya bangkit, lalu menelisik ekspresi Melisa yang begitu k esal. Ini hanya sopir, kenapa Melisa sampai seke sal itu?
“Darman akan selesai cuti setelah ini. Dia akan kembali pada pekerjaannya. Dan kamu bisa pergi dengan dia.”
Sanjaya bangkit dari duduk. Ia mengabaikan Melisa yang melempar protes kepadanya. Sementara sang istri begitu kesal. Kenapa sekarang suaminya banyak mengatur. Melisa tidak tahu, nyatanya setelah perselingku hannya ketahuan oleh Anna, pria itu malah makin seenaknya.
Sementara itu, Anna yang menemui Rahes yang sedang mengelap mobilnya tersenyum kecil. Rahes juga melakukan hal yang sama. Pria itu lantas melem par tanya.
“Ada apa, Non? Mau pergi pagi ini?” tanyanya.
“Iya, tapi sama Papa. Mau jalan-jalan. Kamu antar, ya,” kata Anna.
“Siap, Non,” jawabnya.
Anna masih mengulas senyum ketika Sanjaya datang. Pria itu menatap sang putri dengan saksama, lalu mengusap lengannya.
“Kita pergi sekarang?” ucap Sanjaya yang membuat Anna terkesiap.
“Iya, Pa.”
Rahes kemudian membukakan pintu untuk Anna dan Sanjaya. Setelah semuanya masuk, gegas ia menyalakan mesin dan melajukan kendaraan itu dengan perlahan menuju ke taman yang Sanjaya sebutkan. Sesekali, pria itu akan melirik spion demi melihat keakraban ayah dan anak itu. Entah kenapa, rasanya ia menjadi ikut senang melihat Anna dan Sanjaya akur. Walaupun seharusnya itu tidak boleh terjadi.
Tak lama kemudian, keduanya sampai di taman. Sanjaya dan Anna berjalan bersisihan menyusuri taman. Sementara Rahes menunggu di mobil. Tampak sekali dari kejauhan jika keduanya sama-sama saling menyayangi. Sampai akhirnya, Sanjaya harus segera pergi ke kantor siang itu.
“Kamu pulang sama Rahes, papa akan naik taksi saja,” ucap Sanjaya.
“Saya antar saja, Tuan. Baru nanti pulang,” kata Rahes.
“Iya, Pa. Daripada naik taksi,” sahut Anna kemudian.
Sanjaya tersenyum, lalu mengangguk demi menyetujui usul dari sang putri. Keduanya lantas naik ke mobil yang kemudian dikemudikan Rahes ke kantor Sanjaya. Saat sampai di halaman kantor, Sanjaya lantas melempar tanya.
“Loh, kamu ternyata sudah tahu di mana letak kantor saya, Rahes?”
“Emm … iya, Tuan. Nyonya Melisa yang kasih tahu,” jawabnya dusta.
Padahal, memang sejak awal ia sudah mengetahui mengenai perusahaan milik almarhum papanya. Sanjaya kemudian pamit untuk masuk. Usai melambai pada sang papa, Anna meminta Rahes untuk pulang.
“Nanti sore antar aku ke kampus, ya,” kata Anna kemudian.
“Siap, Non,” sahut Rahes.
Saat mobil mereka masuk ke halaman kediaman Sanjaya, Melisa buru-buru turun. Ia menghampiri sang putri dan kemudian menanyakan jadwal Anna sore ini.
“Mau ke kampus untuk registrasi, Ma. Ada apa?” tanya Anna.
“Mama mau keluar dan minta tolong Rahes antar,” kata Melisa dusta.
“Oh, ya, udah. Nanti biar Rahes pulang dulu habis nganter aku. Aku bisa pulang sama temen nanti,” jelas Anna.
“Makasih, Sayang.”
Melisa tersenyum kecil. Akhirnya, ia akan bisa menikm ati kebersamaan bersama pria itu. Ia bergegas membuat rencana. Melisa mencampur obat perangs ang ke air mineral dan meminta Marni meletakkannya di mobil tanpa ketahuan oleh Rahes. Ia hafal kebiasaan pria itu. Rahes akan meminumnya setelah sampai di rumah usai mengantar Anna.
Sore itu, Rahes sudah bersiap. Ia menunggu Anna yang turun tak lama kemudian. Gadis itu tampak cantik dengan kemeja dan celana jin yang menawan.
“Kita berangkat sekarang, Nona?” tanya Rahes.
“Iya.”
Rahes melajukan kendaraannya menuju ke kampus gadis itu. Namun, sesampainya di sana, Anna tampak kece wa. Ia baru saja mendapat pesan jika registrasi ditunda besok karena ada sesuatu yang mend esak.
“Yah, besok jadinya,” kata Anna pada Rahes.
“Ya, sudah. Kita pulang saja, Nona,” ucap pria itu.
“Eh, sebelum pulang, mampir ke penjual pentol di pertigaan stadion, dong, Hes. Aku penasaran sama rasanya,” ucap Anna.
“Siap, Nona.”
Rahes melajukan kendaraannya menuju lokasi yang diminta oleh Anna. Sesampainya di sana, gadis itu langsung menghambur ke penjual dan memesan pentol yang lagi viral. Sialnya, ia malah kepedesan dan kembali ke mobil dengan wajah mem erah.
“Aku butuh minum, Rahes,” katanya.
Buru-buru Rahes mengangsurkan air mineral yang ada di mobilnya. Anna tanpa curiga juga langsung menenggaknya sampai tinggal separuh.
“Aah … pedes banget. Untung ada air di mobil,” katanya.
Anna kemudian naik ke mobil dan meminta Rahes untuk pulang. S ialnya, di jalan gadis itu mulai merasakan hal yang aneh. Obat perangs ang yang dimasukan dalam air mineral oleh Melisa mulai beraksi. Anna mulai kepanasan dan ge rah. Saat itu, tangannya refleks memegang lengan Rahes yang sedang menyetir.
“Ada apa, Nona?” tanya pria itu.
“Rahes, kenapa aku merasa ge rah, ya. Kayak pengen … emm ….”
Gadis itu mengg igit bib ir bawahnya dan mulai mengge liat. Rahes buru-buru menepikan mobilnya demi memastikan keadaan sang nona.
“Non Anna kenapa?” tanya pria itu lagi.
Gadis itu hanya menggeleng, tapi kemudian mulai berkeringat. Anna menyen tuh tu buhnya sendiri dan memej am seperti apa yang Rahes rasakan waktu itu. Pria itu mulai menyadari sesuatu. Ia mengecek air mineral dan itu air yang sama yang diberikan Melisa waktu itu.
“Jangan-jangan–”
“Rahes … apa kamu bisa … menyent uhku?” ucap Anna yang saat ini sudah mulai merac au tak jelas.
“Tapi, Nona. Saya–”
“Sedikit saja, Rahes. Aku tidak tah an,” kata gadis itu memelas.
Anna sudah mulai membuka satu per satu kan cing kemejanya. Sementara Rahes hanya bisa diam. Ya Tuhan, apa yang harus ia lakukan sekarang?





