Bad day

Hari ini aku agak badmood. Pagi-pagi mobilku sudah ditabrak motor dari belakang, dan motornya kabur. Ketika sampai kantor ku cek, bamper mobil belakangku agak baret panjang dan dalam, kelihatan banget di mobilku yang warna merah, untungnya gak penyok. Huhu… bakal ada pengeluaran tak terduga lagi deh!

Aku berjalan ke arah gedung kantor dan sekilas di depanku aku melihat Mia. Dia tampil cantik dengan blouse biru langit dan rok selutut berwarna biru dongker. Penampilannya paripurna sekali ditambah sepatu high heels 5 cm. Kalau yang gak kenal mungkin menyangka dia artis TV, bukan PNS sini.

Aku sengaja melambatkan jalanku. Aku malas ah se-lift sama dia, malas basa basi. Aku gak begitu suka ngobrol sama Mia. Dia tipikel orang yang kalau ngomong mengintimidasi… haha… atau memang perasaan aku aja yang emang merasa terintimidasi dengan kecantikan dia kali ya… Pokoknya aku gak nyaman aja bergaul dengan Mia. Meski kami seangkatan masuk PNS, kami kalau ketemu hanya saling sapa doang. Gak pernah ngobrol lama.

Dia itu primadona di angkatan aku. Sebelum menjadi janda aja, temen-temen cowoku sangat memuja Mia, apalagi setelah udah jadi janda, banyak yang gak malu-malu ngegodain Mia, bahkan secara terbuka saling kompetitif untuk mendapatkan perhatian Mia.

“Pagi-pagi udah ngelamun.” Mas Ardi sudah berdiri di sampingku.

“Eh Mas Ardi.” Agak gak bersemangat aku menyapanya.

“Saya liat mobil kamu baret. Kenapa? Pas parkir nabrak?”

“Enggak Mas, ditabrak motor tadi. Keliatan banget ya? Mas Ardi parkir disebelah saya?”

“Iya. Kamu omelin motornya dan minta ganti rugi gak?”

“Motornya langsung kabur…” Aku berkata sebal, “Mas, saya mau ke kantin dulu.” Aku melambaikan tangan sebagai isyarat untuk berpisah ke Mas Ardi.

“Saya ikut.” Dia menjawab sambil masih mengikuti aku. Ih.. padahal aku lagi males diikutin dia.

“Mas, saya mau dibungkus aja makanannya.”

“Saya juga kalau begitu.” Duuh… nih orang ikut-ikut aja. Aku memilih membungkus makananku dengan pertimbangannya males aja diliatin orang-orang lagi berduan sama the most wanted person di kantor sini. Bisa-bisa makanku gak nikmat karena banyak kasak kusuk sambil ngeliatin kami. Berasa tontonan infotaiment. Belum lagi ada yang datang sok-sok nyapa aku padahal mau dikenalin ke Mas Ardi…. Ih membayangkannya aja males banget…

Ketika kami mau bayar di kantin, Mbak Kasir pun genit ke Mas Ardi, “eh Pak Ardi… ini aja nih makannya?” Aku jadi sebel dengan semua perhatian orang ke Mas Ardi. Kenapa sih aku ini… PMS kayanya…

Mas Ardi menanggapi dengan cool dan tesenyum manis.. Huuh tambah tebar pesona aja dia. Kayanya dia menikmati semua perhatian orang ke dia deh…

“Mbak, yang ini sekalian aja.” Mas Ardi menunjuk makananku.

“Oh oke Pak. Enak ya Mbak, pagi-pagi aja udah ditraktir Bos ganteng.” Aku hanya memaksakan senyum. Kalimat itu terdengar seperti nyinyiran yang menyidir di kupingku. Aku benar-benar lagi sensitif banget.

Sesampainya di ruangan. Nita menyampaikan bahwa aku dan Mas Ardi diminta menghadap Bu Tiara. Bahkan kami belum sempat sarapan.

“Ardi dan Lita, apa-apaan ini?!” Baru kami masuk ke ruangan Bu Tiara, kami terkena bentakan. Bu Tiara membanting kertas-kertas ke mejanya. Wajahnya terlihat kesal sekali. Mas Ardi maju sedikit untuk melihat kertas yang dibanting Bu Tiara.

“Ini ada datanya yang salah. Pak Deputi marah. Gimana sih kalian gak teliti!! Kalian kan tahu seharusnya kita ini zero mistake!!!”

Selama setengah jam berikutnya kami harus duduk di ruangan Bu Tiara mendengar dia mengomel. Memang di kajian kami yang seharusnya digunakan Pak Deputi terdapat beberapa kesalahan data. Dan itu membuat Pak Deputi marah dan melimpahkannya ke Bu Tiara.

Duuh…. Tambah badmood aja nih aku. Bu Tiara sebenarnya atasan yang baik, tapi kalau ngomel benar-benar mengerikan. Kata-katanya kadang bikin sakit hati, seperti sekarang dia mengeluarkan kalimat “Gak Kompeten”, “Ceroboh”, “Mengentengkan kerjaan”, dan banyak lagi yang harus kami telan.

“Baik Bu, kami akan perbaiki dengan teliti.” Mas Ardi menjawab di akhir omelan Bu Tiara. Lalu kami keluar dari ruangannya.

*

Aku pulang jam 7.30 malam. Ada beberapa kerjaan yang harus kuselesaikan. Yang paling menyebalkan adalah Mas Ardi menghilang dari sore, dan hanya WA ke aku “Tolong kerjaannya langsung dinaikkan ke Bu Tiara aja ya Lit, saya ada urusan.”

Terpaksa aku harus berhubungan dengan Bu Tiara padahal aku masih bete banget dengan omelannya. Setelah semuanya beres dan Bu Tiara membolehkan aku pulang, aku berjalan lesu ke arah parkiran. Rasanya aku capek banget dan aku merasa kosong. Aku juga merasa sangaaaat sendirian. Kok aku melow banget sih…

Aku mengendarai mobilku pulang. Tapi ada yang aneh dengan mobilku. Tarikan gasnya gak stabil dan agak endut-endutan… Aku khawatir dan menepi. Kucoba lagi jalankan dengan pelan… namun tak beberapa lama justru mesinnya mati… aagghh… kenapa ini? Belum pernah mobilku mogok. Hari ini benar-benar hari yang buruk bagiku. Kucoba nyalakan mesin lagi, tapi hanya bunyi klek saja yang keluar dan mesin gak menyala.

Kuperhatikan sekelilingku. Gelap semua. Aku sudah bukan di jalan raya utama. Gak gitu banyak kendaraan yang lewat. Trus aku harus gimana dong? Panggil teknisi bengkel atau mobil derek ya? Huuuh… Haruskah aku buka kap mobilku dulu untuk lihat ada asap gak di mesinnya?

Ketika aku mau membuka pintu mobil, “Tek..tek…” Bunyi air hujan membentur body mobilku. Dan hujun turun dengan deras. Aku tertegun. Kok aku pengen nangis ya… Aku terjebak di dalam mobilku yang mogok di malam gelap dan di tengah hujan!

Kuambil hapeku… adakah yang bisa kuhubungi? Lalu aku tambah merasa down, karena sadar tak ada satu pun orang yang bisa kupanggil untuk menjemputku… Kakakku jauh di Semarang, Om dan tanteku ada yang tinggal di Jakarta, tapi gak gitu deket dengan aku, begitu juga dengan sepupu-sepupuku, bahkan kami gak pernah bertukar pesan. Teman-temanku? Ria pasti udah sibuk sama anaknya.

Air mata tanpa sadar sudah mengalir di pipiku. Aku merasa sedih dan sendirian sekali. Hujan turun makin deras. Kesendirian ini membunuhku… Ya Allah, kasih aku suami dong, biar aku gak sendirian begini… Aku membatin dan air mataku mengalir, terasa hangat di pipiku…

Apakah aku akan meninggal sendirian juga? Apa aku akan kesepian sampai sisa hidupku? Berbagai pertanyaan menyedihkan menghantuiku. Kalau aku meninggal di sini, apakah aku bakal segera ditemukan? Pikiranku makin ngelantur dan justru menambah kekalutan. Trus apa malam ini aku menginap di mobil saja? Tapi kalau ada orang jahat gimana? Aku mengambil hape ku dan mencari nomor bengkel langganan. “Tuuut…tuuut” Tidak ada yang menjawab, ya jelaslah karena bengkel kan sudah tutup… Duuh… Apa harus telepon asuransi ya? Aghhh… berkas asuransiku dimana? Kayanya ada di apartemen. Air mata aku menetes lagi. Aku menelungkupkan wajahku ke stir. Aku mencoba menjernihkan pikiran.

Tiba-tiba ada yang mengetok jendela mobilku. Aku kaget dan takut. Kulirik keluar tidak terlihat apa-apa karena gelap. Tapi terdengar samar-samar suara yang kukenal, kubuka kaca mobil sedikit sekali sekitar satu jari saja (aku gak mau ditodong pisau dari luar kan).

“Lita, ini saya.” Aku memincingkan mata. Suara yang kayanya akrab di telingaku. Dan kemudian seraut wajah yang kukenal terlihat. Mas Ardi menunduk sehingga wajahnya tepat di depan kaca yang terbuka sedikit. Ya ampuun lega banget aku melihat wajahnya…

Tapi justru aku malah menangis sesenggukan. Mas Ardi bingung. Dia masih berdiri di luar dengan payung, sementara aku menangis kejer di dalam mobil.

“Kamu kenapa? Sakit?” Mas Ardi menatapku khawatir.

“Mobil saya mogok…” Akhirnya aku bisa bicara agak jelas.

*

Aku sudah agak tenang. Sekarang aku duduk di mobil Mas Ardi sementara dia sibuk menghubungi jasa derek mobil.

“Kayanya gak bisa diderek sekarang Lit, hujannya rata. Besok baru datang. Tapi tadi saya sudah kasih alamat disini. Sudah di kunci kan mobilnya?” Aku hanya mengangguk.

“Barang-barang kamu sudah diambil?” Aku hanya mengangguk lagi.

“Oke, saya antar kamu pulang.”

Mas Ardi menjalankan mobil menuju ke apartemenku. Aku masih terdiam, kami diliputi kesunyian.

Kami sudah diparkiran mobil di gedung apartemenku. “Makasih Mas.” Aku berkata pelan. Aku sadar penampilanku pasti parah banget saat ini. Mata dan hidungku pasti merah efek menangis kejer. Memalukan sekali. Padahal sudah lama banget aku gak nangis kaya gitu. Tapi kenapa harus terulang di depan Mas Ardi ya. Kayanya emosi-emosi terpendamku keluar semua. Rasa sendiri dan menyedihkan seperti bercampur aduk dengan kelegaan melihat Mas Ardi ada disana menolong aku.

“Kamu gak apa-apa?” Mas Ardi menatapku.

Aku tersenyum, “Hehe gak apa-apa Mas… Kok bisa liat mobil saya Mas?”

“Iya, tadi saya pas lewat, trus kaya liat mobil mencurigakan berhenti. Kok kaya mobil kamu, apalagi saya liat baret yang kamu bilang tadi pagi ketabrak motor… hehe” Dia mencairkan suasana. “Boleh tanya kenapa kamu nangis? Kan cuma mogok mobilnya.”

“Emosi memuncak aja Mas, soalnya seharian bener-bener gak enak hati…”

“Termasuk diomelin Bu Tiara?”

“Iya.. Mana Mas Ardi malah pergi lagi…”

“Saya tadi dampingi Pak Deputi ketemu Menteri. Maaf ya jadi kamu yang harus ngerjain kerjaan sendiri sampai malam sama Bu Tiara.”

“Udah makan kamu?” Dia bertanya lagi. Kok ya suaranya seperti lembut banget di telingaku ya.

“Belum.” Aku teringat memang belum makan. Bahkan aku kayanya cuma makan pas pagi doang sedikit. Siapa sih yang nafsu makan setelah di omelin Bu Bos.

“Mau pesen makanan online dulu?” Mas Ardi menawarkan sambil mengangkat hapenya.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *